Jumat, 23 Desember 2011

opini


Haruskah perempuan- perempuan  Bali tertindas
dan Terus Terhakimi?

Gonjang-ganjing seputar bergesernya nasib perempuan khususnya perempuan Bali menjadi momok bagi kalangan masyarakat Bali pada umumnya. Hal itu memang menjadi sebuah fenomena tersendiri di balik seruan-seruan para hegemoni laki-laki. Banyak dari pengarang-pengarang Bali menggangkat harkat dan martabat perempuan dalam bentuk retorik renungan yang manis sebagai upaya perjuangan di tengah hegemoni laki-laki yang selalu menindas dan sering memperdayakan perempuan. Persoalan yang seperti itu, dari tahun ke tahun selalu runyam dan sangat rumit bila hanya dipikirkan semata. Pandangan tentang perempuan, hanya sering dipandang sebelah mata oleh segelintir orang dalam realitas kehidupan. Akan tetapi, apakah upaya yang dilakukan oleh para pengarang akan menjadi acungan jempol? atau jangan-jangan keberpihakan hanya retorika belaka? jawaban dari pertanyaan itu masih sangat sulit untuk bisa dipecahkan.
Perempuan tidak seharusnya terus menerus bertekuk lutut di bawah hegemoni laki-laki. Kekuasaan laki-laki jangan jadikan sebagai cambuk yang mesti kita terima dengan tangan terbuka. Di Zaman sekarang ini, saatnya sastra menjadi dokumen sejarah, terbukti dengan adanya  penggambaran perempuan dalam sastra merupakan bentuk pernyataan dan resistensi bahwa keberadaan mereka tidak mudah untuk dirasionalisasikan dalam bentuk penguasaan dan penindasan oleh kaum laki-laki yang tak beretika, tak berbudaya dan bertradisi.
Khususnya di pedesaan, perjuangan perempuan-perempuan Bali masih panjang,  karena masih banyak perempuan yang masih diikat oleh kultur keluarga. Dalam hal ini, laki-laki yang secara fisik mempunyai tenaga lebih besar cenderung memanfaatkan perempuan dalam berbagai hal. Dalam melakukan pekerjaan pertanian, misalnya, kaum laki-laki cenderung menyuruh wanita sebagai pendamping di sawah. Tidak hanya itu, kodrat laki-laki sebagai kepala keluarga kadangkala dialihkan juga kepada perempuan-perempuan yang tak menyadari akan pemanfaatannya itu.  Ketika pilihan itu datang sudah menjadi arus kehidupan yang harus diterima dan dilakukan dengan sedikit senyum terpaksa. Perempuan adalah mahluk yang unik, karena di balik kelemah lembutanya sering perempuan di cap mahluk yang lemah atau pun sebutan lain yang kurang lebih berarti ‘sama’ dengan yang di atas. Terkadang dibalik itu perempuan jauh lebih kuat dari seorang laki-laki.
Dengan adanya hal seperti itu, mengedepan peran perempuan, terutama perempuan Bali harus menjadi menu utama di zaman sekarang ini. Siapa perempuan Bali?. Pertanyaan semacam itu, sangat sulit untuk ditebak, karena tidak semua perempuan Bali yang tinggal di Bali asli gadis Bali, karena asal perempuan Bali itu sangat luas. Perempuan Bali bisa datang dari berbagai suku, agama, ras, latar belakang pendidikan dan status yang berbeda. Ketika panggilan itu datang, arus kehidupan yang tidak bisa dielakkan. Peran perempuan Bali yang sebenarnya di mulai, mungkin sudah banyak di ulas. Perempuan Bali dalam kekinian harus pintar-pintar membagi waktu antara arus perubahan zaman dengan keadaan yang ada saat ini. Perempuan tidak hanya bisa menjadi ibu rumah tangga saja, tetapi terbuka untuk peran lainya yang tak terbatas. Di balik itu semua, perempuan Bali harus kembali ke “dapur” dalam arti luas, Artinya bahwa apa yang sudah menjadi kewajiban bagi seorang perempuan hendaknya dilakukan dengan suka cita.
Seperti perempuan lainnya, perempuan Bali adalah perempuan pilihan yang memiliki energi yang luar biasa. Perempuan Bali mempunyai prinsip “Lakukan yang sebaik-baiknya jadikan hidup berarti dalam pegabdian yang tulus. Dalam hal ini, perempuan Bali lah yang merupakan tokoh sentral yang harus diperhitungkan. Pengabdian meneruskan keturunan, merawat anak, melayani suami, bekerja, melayani budaya adat istiadat, agama dan leluhur sudah menjadi sesuatu hal yang memang harus dijalani dan dilakukan dengan lapang dada. Hal tersebut menunjukkan tambah panjang listnya. Berbagai masalah perempuan yang timbul di penjuru Indonesia didorong oleh faktor konflik pribadi dengan lingkungan, bahkan dengan keluarga terutama terhadap suami (laki-laki), yang dikenal sebagai pelindung dan pengayom bagi diri mereka sendiri. Sebagaimana perempuan diproyeksikan sebagai warga kelas dua dalam berbagai hal sedangkan warga kelas satu diduduki oleh kaum laki-laki. Di samping itu, peranan dan posisi perempuan dalam masyarakat dimaknai oleh bentuk nilai dan norma yang secara langsung diciptakan oleh budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang menomorsatukan laki-laki.
Mari bebaskan diri dari belenggu budaya patriarki yang terjadi di Bali pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Perempuan memiliki peran yang jauh lebih penting dari pada kaum laki-laki. Semoga kreasi pengarang-pengarang Bali yang menggangkat harkat dan martabat perempuan dalam bentuk retorik renungan yang manis membuahkan hasil yang manis pula, sehingga khususnya perempuan-perempuan di Bali semakin hari semakin dipandang, dihargai, dan dibanggakan. Tidak hanya untuk dicemooh dan dipandang sebelah mata. Bangkit para perempuan Bali pada khususnya dan perempuan Indonesia pada khususnya.

1 komentar: